MURUNG RAYA, Terbitan.Com – Dalam kasuSnya Saprudin als Sapur (61) warga Desa Juking pajang,kabupaten Murung Raya (Mura) Kalimantan Tengah, yang ditangkap oleh kepolisian Murung Raya saat membakar lahan, Bahkan, saat itu ia sedang membakar sampah dari kayu-kayu bekas pembuatan pagar di kebunnya.

Turiah Ibu kandung Saprudi alas Sapur (90) meminta kepada Presidin JoKo Widodo,Gubernur Sugiato Sabran dan Bupati Murung Raya Perdi untuk membantu Sapur agar lepas dan bisa kembali pada istri dan 7 anaknya.

“Saya mau gimana lagi mendengar anak saya ditahan , mau minta ke siapa lagi, cuma ke Presiden Joko Widodo sama Gubernur Sugiato Sabran dan Bupati Murung Raya Perdi,” kata Turiah ditemui di Perumahan, di Desa Juking Pajang, Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya, Jumat (31/01/2020).

Tolong bebaskan Anak saya Sapur,anak saya ini mengalami gangguan rabun mata dan pendengaran yang kurang saya harap kepada pemerintah, Guberner,Bupati, terutama Presiden Joko Widodo mana keadilan untuk kami yang miskin anak saya bakar lahan hanya untuk mengidupi anak-anaknya.

Seperti diketahui, Sapur harus ditahan karena setengah hektare lahan miliknya terbakar, ia pun mesti merasakan dinginnya ruang di balik jeruji besi.

Sekitar pukul 14.00 WIB, mobil tahanan tiba di Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh. Saprudin alias Sapur langsung digiring polisi dan jaksa menuju ruang tahanan. Sidang pada Senin (20/1) itu tak seperti sidang-sidang yang dijalani sebelumnya. Kali ini Sapur tak diperbolehkan berbincang lebih leluasa dengan keluarganya.

Pada sidang sebelumnya, pria 61 tahun itu masih bisa ngobrol santai sambil lesehan di lantai yang tak jauh dari ruang tahanan di lantai dasar. Tak dibatasi oleh jeruji besi. Akan tetapi, kali ini sempat membuat pihak keluarga kecewa.

“Saya tidak tahu kenapa dan tidak ada penjelasan. Bapak Langsung dimasukkan ke sel. Padahal biasanya, sembari menunggu persidangan, kami bisa kumpul-kumpul duduk lesehan,” ungkap Edi, anak pertama Sapur.

Pria 35 tahun itu berusaha kuat menahan emosinya, melihat derita yang dialami ayahnya. Edi begitu khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya yang kian hari kian menurun. Sapur mengalami gangguan rabun mata dan pendengaran sebelum ditahan. Pada hari itu, Edi melihat perubahan drastis pada ayahnya. “Tubuh bapak saya gemetaran,” sebut Edi.

Penulis menghampiri Sapur yang berdiri di balik jeruji. Memakai kopiah warna putih dan kemeja motif batik. Tampak begitu rapi.

Sapur melemparkan senyum ketika penulis memperkenalkan diri. Sapur tampak tegar, meski ketika penulis bersalaman, tangannya terasa bergetar.

Suasana bahagia bercampur haru tatkala mendengar suara Mulyono (65), rekan sejawatnya yang hadir memenuhi panggilan sebagai saksi dan menemani penulis menghapirinya.

“Apa kabar pak?” sapa penulis kepada Sapur.

“Alhamdulilah, saya sehat. Cuma badan saya agak gemetaran. Mungkin karena lama tidak bekerja,” ucapnya sembari tersenyum simpul. Sungguh jawaban yang membuat lega hati.

Sapur sedikit bercerita pengalamannya. Ia mengatakan bahwa selama dipenjara jarang melakukan aktivitas. Bagi Sapur yang hari-harinya selalu bergelut dengan aktivitas di ladang, suasana di ruang tahanan terasa sangat membosankan. Ingin membuat kerajinan tangan dan sebagainya. Namun ada daya, penglihatannya  tak mendukung. “Kami yang biasa bekerja ini, kalau diam seperti ini. badan malah sakit-sakitan,” ujarnya.

Sapur begitu ingin melepas rindu dengan keluarganya untuk berbagi kisah. Namun, waktunya sangat terbatas.

Sekitar pukul 16.30 WIB, sidang dimulai. Majelis Hakim yang diketuai Cipto Hosari Parsaoran Nababan dan didampingi dua hakim anggota, membuka persidangan dengan agenda menghadirkan saksi yang meringankan.

Mulyono, Sahrudin, Karya Dwi Cahya, dan Baktor Kuling dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan itu. Disumpah untuk menyatakan kebenaran. Hakim menanyakan kepada penasihat hukum terdakwa, Ditta. “Siapa yang terlebih dahulu?” tanya Cipto.

“Mulyono pak, saksi mata pada waktu kejadian,” jawab Ditta.

Mulyono pun menceritakan peristiwa pada 18 September 2019 lalu itu. Ia menerima kabar bahwa kebun karet miliknya terbakar di daerah Juking Pajang, Kabupaten Murung Raya. Mendengar itu, dirinya pun bergegas menuju kebun. Kebetulan ada lima anggota kepolisian saat itu.

“Jadi kami berbarengan ke kebun. Memang benar ada lahan terbakar, termasuk lahan saya. Jaraknya 100 meter dari punya Pak Sapur. Saya tidak pernah menuduh Pak Sapur, karena rasanya tidak mungkin. Karena lahan punya saya terbakar pada hari itu, sedangkan lahan punya beliau (Sapur, red) sudah dibakar dan jagung-jagung sudah tumbuh sekitar tinggi 20 cm,” bebernya.

Baktor Kuling selaku ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Murung Raya, kali ini juga dihadirkan dalam persidangan. Ia menjelaskan, menurut pandangannya, dari sisi budaya, membakar lahan telah menjadi kearifan lokal yang turun-temurun.

“Berladang dengan cara dibakar sudah menjadi budaya masyarakat adat Dayak sejak dahulu kala,” ujarnya.

Sementara, kronologi sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut umum Kejari Murung Raya, pada Selasa 17 September 2019, sekira pukul 13.00 WIB, terdakwa bersama saksi Bendi menuju lahan milik terdakwa di pinggir DAS Barito, Desa Juking Pajang Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya.

Sesampainya di lahan itu, terdakwa mengumpulkan daun dan dahan yang sudah kering yang sebelumnya telah ditebang dan ditebas menggunakan sebilah parang. Selanjutnya, terdakwa membakar lahan menggunakan macis. Api disulut pada serabut kelapa untuk memudahkan proses pembakaran.  Kemudian, Rabu 18 September 2019, sekitar pukul 13.00 WIB, terdakwa bersama saksi Bendi kembali ke lahan itu, dengan tujuan untuk melanjutkan pembakaran dan membersihkan sisa pembakaran di atas lahan yang telah dibakar.

Sekitar pukul 15.00 WIB, dua orang anggota Polres Murung Raya melihat ada lahan yang telah terbakar dan api yang masih dalam keadaan menyala. Dua anggota polisi itu mendatangi terdakwa, lalu melakukan penangkapan.

Terdakwa melakukan pembakaran pada lahan miliknya, dengan luas sekitar dua hektare. Sementara, luas lahan yang telah dibakar terdakwa saat itu sekitar setengah hektare.(Iwan)