Reporter : Terbitan Jatim
|
Publisher : Admin Terbitan

Terbitan.com – Desa dalam angka mungkin hanya akan teronggok deretan angka-angka kumal kemiskinan, apalagi di tindih pandemi covid-19 selama 3 Tahun Desa Indonesia belum juga bebas dari kemiskinan, lingkaran korupsi, sikap bergantung-ngathung, layanan publik belum optimal maupun kualitas serapan anggaran (mutu, waktu, sasaran) masih harus dibenahi. Itu semua merupakan bagian titik kritis desa dalam memberdayakan masyarakat. Jika hal itu dibiarkan tanpa ada upaya menutup atau membungkam perilaku inferior, bisa-bisa desa bakal gulung tikar dan teralienasi di rumahnya sendiri.

Untuk membuka kotak pandora di atas, desa sedikitnya pemerintah desa (pemdes) rajin merawat rembugan dalam forum rembug desa, optimalkan RPJMDes, RKPDes dan APBDes. Tak kalah baiknya juga berusaha mengubah mindset dan transformasi sosiokultur untuk membalik kemiskinan. Sikap kontraproduktif semestinya segera dihindari dan diperbarui dengan spirit kerja keras, gotong royong dan orientasi desa bukan personal.

Pemilik kedaulatan sesungguhnya adalah rakyat, maka seharusnya pelayanan masyarakat harus lebih baik, bukan layanan kelompok atau partisan politiknya. Selanjutnya, tak lelah melakukan inovasi program kegiatan, sehingga ketika dana desa maupun kucuran bantuan lain yang mengalir ke desa dimanfaatkan sesuai perencaan awal yang telah dituangkan pada dokumen pembangunan desa, mengacu pada aturan dan prosedur yang berlaku.

Sistem Informasi Desa

Jika kualitas anggaran tinggi pun memang belum tentu merepresentasi kepala desa dan perangkatnya dalam mendayagunakan pendapatan desa sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Angka-angka belanja regular, misalnya gaji atau honor kepala desa beserta perangkat desa, dana perjalanan dinas, dana rapat-rapat ditingkatkan agar angka serapan optimal. Hal ini berimpliaksi, belanja bisa saja tebal, tetapi tidak signifikan pada pembangunan desa.

Angka serapan anggaran rendah dapat berindikasi memang desa itu sudah kaya dan tak butuh lagi dana pembangunan dari supra desa atau ada pembatas, kekhawatiran salah dan berperkara hukum saat menggunakan dana pembangunan tersebut. Belum juga hilang angka-angka korupsi oleh kepala desa atau merebut kue pembangunan desa. Mungkin saja para Kepala desa ini becermin dari perilaku elit yang mencuri uang rakyat.

Hampir setiap raker, rakor maupun FGD seperti tak ada materi lain, soal gaji maupun tunjangan mereka dan bawahannya selalu diperjuangkan habis-habisan. Ironi, kalau untuk kepentingan diri terlihat militan, tapi ia kadang lupa bahkan abai atas kepentingan rakyat yang jauh lebih mendesak dan segera ditangani. Angka kematian ibu, angka kematian bayi, stunting, angka putus sekolah, pelatihan SDM, rintisan investasi teknologi tepat guna, memundurkan benih-benih radikalisme, terorisme dan intoleransi. Juga soal narkoba dan kekerasan anak dan perempuan, pun disabilitas seolah berhembus begitu saja bersama angin.

Kemiskinan yang enggan melorot atau masifnya pergerakan tenaga kerja ke kota atau sebagai TKI tanpa skill pun dipasok setiap bulan bahkan minggu. Barangkali barisan tersebut sekarang sedikit melorot karena pemberlakuan bagi para pendatang baru ke Jabodetabek (khususnya) harus mengantongi surat ijin keluar masuk (SIKM).

Sementara sumberdaya alam desa terbiar dan hanya menunggu proyek besar berduyun-duyun membuat kabut di desa. Jika desa mau berbenah, setidaknya desa juga harus punya standar pelayanan minimal desa (SPM-Des), sehingga segala hal ihwal bentuk layanan bisa dipantau dan dikritisi warga, bukan semau-maunya. Tansparansi dan akuntabilitas segenap penggunaan dana pembangunan pun akan menjadi tuntutan masyarakat desa, sekarang dan nanti. Ini bisa berjalan asalkan kepala desa plus perangkatnya bersama-sama komitmen membangun desa.

Untuk bangkit dan desa keluar dari perangkap kemelaratan, pihak luar atau supra desa mesti membangunkan, menyadarkan penuh desa dari lelap panjangnya melalui pendampingan yang intens terkait pelayanan publik, pengamanan dana, derajat kesejahteraan warganya, karena sejahtera itu bukan semata diukur dari dimensi ekonomi tapi juga meniupkan segi psikologis maupun emosionalnya. Di sini indeks kepuasan masyarakat dipertaruhkan saat kepala desa dkk beramai-ramai menuntut bantuan dan stimulan yang tinggi berdalih membangun masyarakatnya.

Pengawasan dan kontrol masyarakat bersama BPD secara organik, maupun instusi pengawasan pemerintah, menjadi kampiun untuk meringkus desa yang amnesia, belajar bangkit dan bangun dari rerupa derita. Desa juga perlu membuka kanal-kanal komunikasi dengan masyarakat melalui berbagai media. Sistem informasi Desa (SID) dan kawasan menjadi bagian dari saluran bagi masyarakat guna menyampaikan saran, masukan bahkan keluhan atas kerja pemdes. Sedang untuk layanan informasi publik, maka terus kita dorong pemdes untuk mampu mengklasifikasikan dan mengelompokkan informasi/data yang dimiliki, menyimpan, mengolah dan menyajikan informasi tersebut, baik itu yang bersifat wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, yang diumumkan secara serta merta, maupun yang wajib tersedia setiap saat. Termasuk apa-apa yang masuk dalam kategori informasi yang dikecualikan.

World View

Prinsip kita, setiap informasi yang disampaikan ke publik haruslah mudah dijangkau oleh masyarakat. Bahasa yang digunakan juga harus mudah dipahami, sehingga tidak berpotensi menyebabkan terjadi kesalahan persepsi dan pemaknaan. Dengan demikian, masyarakat lebih paham dan mampu memberikan saran masukan serta makin teredukasi dalam banyak hal dari informasi yang disampaikan/disajikan. Desa bisa meng-cover Wifi desa agar warga desa melek medos, tak gagap IT. Kalau ada Gubernur Medsos, Bupati/Walikota twitter, tak ada salah jika ada Kepala Desa instagram, Kepala Desa youtube maupun facebook.

Pada aras kemurungan yang terjal kala masyarakat panennya puso, dipermainkan harga tengkulak atau harga anjlok belum lagi mereka diringkus kesulitan membayar iuran BPJS, atau sekadar membeli buku tulis buat anak-anaknya yang sedang riang merenda kisah dengan bangku pertama sekolahnya. Atau yang sedang bersusah hati karena kenaikan tarif listrik.

Untuk menyikapi dan mengantisipasi kondisi itu, penting kiranya membumikan cara hidup atau gaya hidup, mindset, dan world view masyarakat, sehingga bekerja apa saja, termasuk bertani di desa pun tetap gagah dalam kesahajaan. Dalam konteks ini . bahwa lulusan perguruan tinggi bermental “Sanglaritis”, yakni mereka hanya buruh, ingin jadi PNS atau swasta, kurang mau dan mampu menciptakan lapangan kerja/usaha sendiri. Berapa sarjana kita yang menganggur?

Mental itu tentu saja bisa mengimbas pada masyarakat pedesaan. Untuk mengerdilkan mental demikian, rasanya tak ada salahnya pemdes memulai mendayagunakan dana desa untuk rintisan invensi teknologi tepat guna sebagai jawaban atas petani kita yang kekurangan teknologi. BUMDes pun sebagai anak kandung desa bisa dioptimalkan, diberdayakan dan dipasarkan seluruh produknya melalui intervensi dana desa. Bagi desa, tak perlu menunggu waktu, menciptakan peluang, menaikkan skill dan kebutuhan pasar, berani melihat dan menerima realita serta membangun dan mendapatkan support system. Jika sudah demikian, mimpi sebagai desa mandiri pun bukan hal yang masygul.

E-KORAN

IKLAN UCAPAN IDUL FITRI