Reporter : Admin Terbitan

PALANGKA RAYA, terbitan.com – aksi massa masyarakat adat bela peladang tradisional di Palangka Raya kali ini melibatkan sedikitnya 900 orang dari berbagai daerah kabupaten dan kota di Kalteng. Aksi massa masyarakat adat di Palangka Raya ini digelar di beberapa tempat. Yaitu di Bundaran Besar Palangka Raya, Kantor Polda Kalteng dan Kantor DPRD Provinsi Kalteng. Selasa 10/12/2019 sekitar pukul 08:00

Selain itu terdapat sekitar 40 organisasi lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Peladang Tradisiona Kalteng. Yakni Pusaka, Yayasan Petak Danum, Walhi Kalteng, AMAN Kalteng, BPAN Kalteng, Perempuan AMAN Kalteng, PPMAN, Solidaritas Perempuan Kalteng, Pasah Kahanjak, HIMA Barito Utara, Progress, Pasukan Lawung Bahandang (PLB), Fordayak Kalimantan Tengah, GMKI, LBH Palangka Raya, Eka Hapakat, KPPM Ot-Danum Kalteng dan BEM UNKRIP.

Kemudian Asbadata, GDN, Gepak Kalteng, Kapakat Dayak Bersatu, Komunitas Utus Dayak Bersatu Mandau Talawang, LP-KPK, Pembaru Indonesia, Pemuda HWK Katingan Emas, Perajah Motanoi, PSB-KT, RTB KT, YBB, PMKRI, FPMAD KT, KPPM Ot Danum, Maki Pusat, Seruni, DAD KALTENG, GMNI, Perperdayak dan ELSPA.

Aksi ini dikawal ketat ditsabhara polda kalteng siagakan satu kompi dalmas dan unit satwa K-9
Agar aksi damai ini dapat berjalan dengan aman dan lancar tanpa adanya hal-hal yang tidak diinginkan.

Koordinator Umum Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng, sekaligus Plt. Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Ferdi Kurnianto mengatakan, kami menegaskan bahwa peladang adalah pejuang. Pejuang dalam menafkahi keluarga dan rumah tangganya. Pejuang dalam mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari serbuan korporasi yang masif ke dalam ruang-ruang hidup masyarakat adat.”kata fardi

Oleh sebab itu, lanjut Ferdi, setiap orang juga harus memahami bahwa bagi masyarakat dayak praktek-praktek perladangan tradisional dengan menerapkan kearifan lokal yang salah satunya dengan tata cara pembakaran ladang adalah upaya untuk mempertahankan Hidup, tradisi dan budaya dayak.

“Kami juga menegaskan bahwa berladang merupakan bentuk kedaulatan kami terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup kami.”

Pihaknya juga menilai, maraknya peladang tradisional yang dijerat hukum selama ini karena kurangnya perhatian dari pemerintah, dalam mengakomodir kebutuhan para peladang tradisional dan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan tidak adanya regulasi daerah, baik berupa peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota.

“Maupun peraturan kepala daerah di Kalteng, yang berpihak dalam mengakomodasi kebutuhan, pengakuan dan perlindungan bagi kami para peladang dan masyarakat adat dayak secara kontekstual. Oleh sebab itu, pada hari ini kami menyatakan bahwa negara belum sepenuhnya hadir bagi masyarakat adat dan peladang tradisional di Kalteng.”

Ferdi juga mengatakan, pelarangan dalam membakar lahan semestinya juga mempertimbangkan perbedaan tipologi tanah. Yang mana antara tanah gambut dan tanah mineral tidak bisa disamaratakan. Selain itu, pelarangan membakar tidak boleh disamaratakan pada semua daerah.

“Pada hari ini kami juga menegaskan kepada berbagai pihak bahwa praktek-praktek perladangan tradisional dengan menerapkan kearifan lokal. Yang salah satunya dengan tata cara dan ritual membakar ladang juga dilindungi oleh konstitusi.”

Dilindungi oleh konstitusi dimaksud, dimuat dengan jelas pada penjelasan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi aparat penegak hukum umumnya malah menjerat para peladang tradisional terkait karhutla dengan menggunakan undang-undang yang sama.

“Namun hanya dengan mengacu kepada pasal 69 terkait larangan, tanpa menelaah secara jelas dan kontekstual seperti yang termuat pada pasal penjelasannya,”kata fardi.(Iwan)

E-KORAN