Reporter : Admin Terbitan

OPINI, terbitan.com – Media sosial, kini tengah diramaikan dengan diskusi terkait wacana pemberlakuan konsep “Wisata Halal” di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, NTT oleh Badan Otoritas Pariwisata (BOP).

Wacana tersebut, jelas mendapat penolakan keras dari masyarakat karena dinilai tidak tepat untuk konteks Labuan Bajo yang masyarakatnya menjunjung tinggi kearifan lokal.

Kini wacana tersebut menuai kontroversi dan menjadi polemik. Diskusi di media sosial makin liar dan panas, tatkala 3 point klarifikasi resmi dari BOP Manggarai Barat terkait hal ini, belum menjawab substansi so’al.

Dilansir melalui beberapa media lokal, tiga point dalam klarifikasi itu yakni:
Pertama, BOP Labuan Bajo tidak dalam kapasitas memberi label wisata apapun termasuk wisata halal di Labuan Bajo. BOP tidak punya niat dan tidak akan pernah melabeli Labuan Bajo sebagai destinasi wisata halal.
Kedua, BOP Labuan Bajo Flores berperan menjalankan fungsi koordinatif, yaitu sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta para stake holder pariwisata, dalam rangka mempercepat pembangunan pariwisata di Labuan Bajo sebagai bagian dari destinasi pariwisata super prioritas. Ketiga, dalam membangun dan mengembangkan pariwisata Labuan Bajo, BOP berkomitmen mengedepankan kearifan lokal, yaitu pembangunan pariwisata berbasis budaya dan tradisi lokal yang selaras dengan kelestarian alam.

Dari 3 point klarifikasi diatas, menurut hemat penulis, BOP seolah-olah hanya ingin menjelaskan fungsi dan kedudukannya dalam membangun pariwisata di Manggarai Barat. Padahal, ekspektasi publik adalah mendapat penjelasan terkait dasar pemikiran dari BOP memberlakukan konsep wisata halal tersebut di Labuan Bajo. Sehingga tidak berlebihan jika penulis menilai BOP ingin cuci tangan dan dianggap keceplosan telah melempar wacana tersebut ke masyarakat.

Wisata halal, mengungkung kearifan dan nilai luhur budaya lokal

Akademisi M. Battour dan M. Nazari Ismail menjelaskan bahwa wisata halal merupakan sekumpulan objek atau tindakan yang diperbolehkan menurut ajaran Islam untuk digunakan oleh orang Muslim dalam industri pariwisata. Definisi ini memandang hukum Islam (syariah) sebagai dasar dalam penyediaan produk dan jasa wisata bagi konsumen (dalam hal ini adalah Muslim), seperti hotel halal, resort halal, restoran halal, dan perjalanan halal. (detik news, diakses pada minggu 13 april 2019, pukul 13:55).

Dari definisi diatas, dapat kita pahami bahwa kehadiran konsep wisata halal pada konteks kota Labuan Bajo, jelas akan menjadi sekat pemisah antara wisatawan dengan masyarakat Manggarai Barat yang menjunjung tinggi kearifan dan nilai luhur budaya lokal.

Aturan main dalam konsep wisata halal diatas diprediksi akan melengserkan derajat budaya lokal yang diharapkan menjadi salah satu daya pikat wisatawan.

Keberadaan budaya lokal sebagai salah satu nilai jual kepariwisataan Manggarai Barat diyakini akan tergerus atau terkungkung oleh konsep wisata halal.

Sementara dilain pihak, pemerintah dan masyarakat Manggarai Barat mengharapkan budaya lokal menjadi salah satu daya pikat bagi wisatawan untuk berkunjung ke Labuan Bajo.
Harapan ini sejalan dengan Visi Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan yaitu “Terwujudnya Kesejahtraan masyarakat Manggarai Barat melalui Pembangunan Kepariwisataan yang berbasis kerakyatan dan bertumpu pada eko wisata, kekhasan serta keunikan budaya”.(sumber Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan, Kab. Manggarai Barat).

Reaksi protes penolakan konsep Wisata Halal dari masyarakat kian masif di media sosial. Bahkan Pemerintah Propinsi NTT juga dengan tegas menolak konsep ini, karna tidak tepat diterapkan di Labuan Bajo yang masyarakatnya menjunjung tinggi Budaya dan lama hidup berdampingan dengan orang berbeda suku dan agama lain namun tetap menjaga toleransi.

Olizh Jagom, Putra asli Manggarai Barat

E-KORAN

IKLAN UCAPAN IDUL FITRI