Reporter : Admin Terbitan

OPINI, terbitan.com – Dalam konteks pemilu Indonesia yang menyongsong demokrasi ala Pancasila, katanya, perbedaan pendapat serta pilihan menjadi hal yang lumrah, bahkan menjadi sikap yang wajib. Jika tidak punya pilihan atau keberpihakan kepada salah satu kontestan politik, maka dianggap tidak punya pendirian.

Diksi ‘kawan dan lawan’ telah menunjukkan suatu kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam hal apapun. Sejak kapan konsep lawan dan kawan itu ada? Tentu saja beriringan dengan sejarah peradaban manusia.

Sikap berkawan dan bermusuhan telah berakar urat dalam kehidupan manusia, bahkan telah merembet pada setiap lini kehidupan. Karena pada dasarnya sistem lawan dan lawan adalah metode dasar untuk menciptakan dinamika dan dialektika dalam keseharian.

Misalnya, para pebisnis tentu sangat berpengalaman dengan yang namanya persaingan. Tanpa ada persaingan dalam dunia bisnis, perusahaan akan mandek dan tidak berkembang, tanpa mengetahui mana lawan dan kawannya perusahaan tidak akan mampu menciptakan produk-produk yang dinamis. 

Kawan akan selalu mendukung dan memberi masukan atas suatu produk yang dikeluarkan, sementara lawan perusahaan akan menyaingi atau bahkan mengkritisi suatu produk yang dikeluarkan oleh lawan perusahaannya.

Tidak hanya dalam dunia bisnis, dalam dunia perfilman pun konsep kawan dan lawan digunakan; namanya protagonis dan antagonis. Tanpa ada keduanya, jalan cerita akan hambar seperti sayur tanpa garam. Seperti rindu yang tidak menemukan alamatnya.

Nah, di antara dua permisalan di atas, yang paling menarik adalah konsep kawan dan lawan dalam dunia perpolitikan. Untuk mengetahui kawan dan lawan dalam dunia politik, tak usah repot-repot membaca diktat sejarah perpolitikan Indonesia. 

Simpel saja, cukup buka twitter atau facebook kita akan menemukan keduanya – kawan dan lawan – saling balas pantun, saling kritik, saling menelanjangi, dan saling mencaci. Semua distingsi kedua belah pihak dipertontonkan secara terbuka dan gratis, dengan tujuan mempertahankan ambisi dan kebenarannya masing-masing.

Dalam konteks pemilu Indonesia yang menyongsong demokrasi ala Pancasila, katanya, perbedaan pendapat serta pilihan menjadi hal yang lumrah, bahkan menjadi sikap yang wajib. Jika tidak punya pilihan atau keberpihakan kepada salah satu kontestan politik, maka dianggap tidak punya pendirian.

Adanya istilah kawan dan lawan dalam teknis berdemokrasi bagi penulis sah-sah saja, oleh karenanya dialektika dalam berdemokrasi akan hidup dan berkembang. Misalnya, di negara ini kita kenal pihak koalisi (pihak pemerintah) dan pihak oposisi (tidak sepakat pada pemerintah), turunan dari keduanya adalah pihak ‘cebong dan kampret’. Keduanya saling kritik dan saling serang, pada mulanya sangat bagus dan memabangkitkan gairah pikir kita dalam bernegara.

Namun, yang penulis sesalkan adalah sikap saling kritik yang berlebihan kemudian terjerumus pada caci maki antar keduanya, dan saling menjatuhkan antar kubu. Situasi yang demikian, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, dijadikan kesempatan oleh para elite politik untuk menciptakan ketegangan dan kedaruratan dalam negara. 

Mengutip bahsa Giorgio Agamben dalam State of Exception 2015 bahwa adanya pata elite politik yang mengumbar prasangka dan kebencian; apriori dihadapi dengan apriori, acuh tak acuh, hipokrit, atau rasis justru dipertontonkan.

Hal di atas diupayakan untuk meraup keuntungan semata para elite di dalam pemilu, keterbelahan masyarakat yang begitu kentara akan memperkuat jumlah keberpihakan. Seberapa kuat jumlah kawan kita dan seberapa kuat jumlah lawan kita. Kok seperti hitungan matematika? Ya, terciptanya kawan dan lawan hanyalah kalkulasi para elite untuk mempertahankan kekuasaan atau mengganti kekuasaan.

Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa logika kawan dan lawan dapat kita tarik benang merahnya ke dalam dua hal; pertama, terciptanya efek positif dalam teknis berdemokrasi khususnya dalam pemilu, karena adanya kawan dan lawan akan mampu menghidupkan dialektika masyarakat dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpinnya. 

Kedua, mempertahankan sikap kawan dan lawan sungguh akan berefek negatif dalam kehidupan. Ambisi dan mempertahankan kebenarannya masing-masing justru akan menjerumuskan pada sikap saling caci, ketidakpercayaan, cemoohan, dan ujaran kebencian antara satu dengan lainnya.

Sikap persekawanan dan bermusuhan boleh saja terjadi dalam kehidupan ini, apalagi hanya dalam pemilu yang jangkanya hanya sesaat. Namun, sikap tersebut jangan sampai mempengaruhi tatanan dalam masyarakat. 

Jadikan persekawanan dan permusuhan sebagai daya positif untuk mengembangkan pola pikir masing-masing, bahwa sejatinya perbedaan pandangan dalam hidup itu sangatlah lumrah dan biasa-biasa saja. Mari kita kembali pada kita kebangsaan kita; negara bangsa kita utuh sampai saat ini karena dibangun oleh perbedaan dan pemikiran yang berbeda-beda tetap bersatu.

Penulis : Oktavianus Seldy Berek
(Jurnalist di Kabupaten Malaka)

E-KORAN