Reporter : Admin Terbitan

MALAKA, terbitan.com – Kejadian biasa-biasa saja tak akan sanggup membakar dinding-dinding jagat maya dengan mengulutkan api kemarahan para pengguna media sosial. 

Di sini saya memilih untuk tidak akan menyebutkan mengulang-ulang luka yang dialami teman/sahabat kita, Rondy Mallo.

Tagar Justice for Rondy Mallo memenuhi seluruh tubuh berbagai platform media sosial milik warga malaka. Semua orang menyerukan keadilan untuk Rondy Mallo, mengambil bagian atau bahkan keutuhan rasa yang sama persis dialami Rondy Mallo; bahwa damai bukanlah keadilan. 

Sampai-sampai sesosok TPDI pun turut mengecam, “Tidak ada damai atau maaf.” Pengacara Meridian Dado, pun menyatakan siap memberikan bantuan kepada Rondy Mallo.

Dari keseruluhan fakta, respons timbal balik antara netizen dan pelaku, respons dari pelaku yang mengatakan “netizen jangan sok suci” yang paling membuat saya geram sekaligus ternganga melihat mereka begitu sangat percaya diri. 

Tadinya saya langsung mau mengecam sekeras mungkin tindakan biadab itu. Tetapi karena ada permintaan “jangan sok suci” dari para pelaku, maka saya menunda apa yang tadinya kuat ingin saya lakukan; cuma menunda, bukan membatalkan. 

Saya mulai dengan bertanya pada diri saya sendiri, “Apakah saya sok suci? Bagaimana jika pelakunya itu adalah merupakan keluarga saya, hukuman macam apa supaya adil?”

Saya memilih awalan itu, mengambil posisi subjektif pada pelaku. Tentu saja ini tidak akan benar-benar sama seperti yang dirasakan oleh keluarga asli pelaku; yang mungkin saja merasa marah, malu, berdosa, dan jijik bercampur jadi satu di dalam diri dan mata pada saat memandang raut wajah anak-anak nakal itu. 

Tetapi, bagi saya, ini cukup adil ketimbang saya menempatkan diri secara lazim; sebagai bagian subjektif korban dengan membayangkan bahwa seandainya kejadian itu menimpa saudaranya pelaku sebagai korban. Karena bagi saya, untuk memperjuangkan keadilan Rondy Mallo tak hanya didorong oleh sugesti-sugesti diri semacam itu, tetapi cukup dengan membenci keteledoran dan merasa bertanggung jawab atas terciptanya dunia kebaikan tanpa balas dendam. 

Saya sangat membenci kekerasan dalam bentuk apa pun. Dan saya tahu sekarang, Rondy Mallo tengah mengalami tekanan psikis yang luar biasa sebab masalah tersebut pelakunya adalah Oknum Pejabat Malaka dan Anak Pejabat 01 Malaka.

Siapa pun yang menginginkan keadilan untuk Rondy Mallo sama artinya meminta terciptanya tatanan yang bermoral. Permintaan seperti ini mengisyaratkan kepada kita untuk memikirkan bagaimana caranya menciptakan manusia-manusia yang baik, toleran, dan bermartabat dalam hidup kesetaraan dan persaudaraan, setelah jadi korban pelaku minta maaf.?

Juga sikap para elite kita yang kerap kali menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan kekerasan fisik lewat kaki-tangan aparat di setiap perundingan dengan warga biasa berjung pada keputusan yang tak bulat. Semua ini jelas berpengaruh pada alam bawah sadar kita.

Kendati begitu, setiap dari kita yang menginginkan tatanan ideal tercipta tetap harus memilih di mana dan dari mana ide-ide masing-masing yang kita punya disalurkan dan mulia bergerak menciptakan tatanan yang diinginkan. Saya memilih memulainya bukan dari rumah, tetapi dari sekolah. Karena dari situlah seorang anak belajar berbaur bersama anak-anak lain yang rentang usianya terbilang sama atau tak jauh berjarak.

Terakhir yang ingin saya mau bilang adalah saya tidak menginginkan seluruh pelaku kekerasan di dunia ini dibunuh atau dipotong tangannya; dan bahwa keadilan adalah benar-benar bukan hal yang gampang dirumuskan bahkan didistribusikan.

DALAM KEKERASAN DAMAI BUKAN KEADILAN.

Tidak ada alasan apa pun yang bisa dijadikan pembenar dalam kasus brutal ini. Sadar atau tidak, tindakan kekerasan ini adalah buah dari normalisasi tindakan kekerasan yang berlangsung dalam sosial politik kita. Akibatnya, kekerasan dianggap lazim oleh generasi muda. Dan, ini hanya beberapa saja yang terungkap.

Pengeroyokan yang menimpa Rondy Mallo adalah luka kita semua. Bagaimana tidak, kekerasan ini dilakukan oleh Oknum Pejabat dan Anak Pejabat. Selain itu, tentu ini menjadi sayatan pedih bagi seluruh jajaran pemuda Malaka di Indonesia dan bagi siapa pun yang anti terhadap segala bentuk kekerasan.

Kabar ini tentu memicu emosi publik karena dianggap menjadi jalan mulus terhadap pembiaran-pembiaran kekerasan yang berulang-ulang. Akhirnya tagar Justice For Rondy Mallo pun trending topic di lini masa media sosial sebagai bentuk kepedulian publik kepada Rondi Mallo.

Hemat penulis, ada beberapa hal yang penting diperhatikan kaitannya dengan kekerasan yang menimpa Rondy Mallo. Pertama, ini adalah akibat dari kebiasaan kita selalu menyelesaikan kekerasan dengan jalan damai. 

Saya rasa, ini harus menjadi yang terakhir agar kekerasan serupa tidak terulang di kemudian hari. Artinya, mekanisme hukum bagi manusia harus ditegakkan, termasuk penjara anak sebagaimana diatur undang-undang.

Kedua, pengeroyokan terhadap Rondy Mallo ini menyangkut moralitas generasi muda kita. Apa pun alasannya, ini harus menjadi pengingat bagi generasi muda untuk berpikir dua kali—bahkan jutaan kali—bahwa kekerasan dan perundungan adalah tindakan biadab yang tidak berperikemanusiaan.

Ketiga, ini menjadi lonceng pengingat atas pola asuh terhadap anak yang selama ini dilakukan oleh orang tua. Dalam hal ini, semua orang tua harus menjadi titik awal untuk menjadi kontrol kejiwaan anak-anaknya. Artinya, orang tua harus lebih berhati-hati agar anak-anaknnya tidak lepas kontrol.

Kasus yang menimpa Rondy Mallo ini benar-benar menjadi pukulan telak bagi kita semua. Moralitas generasi muda menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. 

Bahkan, para pelaku pengeroyokan itu tidak merasa bersalah sama sekali. Mereka masih bisa tersenyum bangga di media sosial atas tindakan biadab yang diperbuatnya. Menyedihkan, tidak ada rasa malu sedikit pun, seolah-olah yang mereka perbuat adalah suatu kewajaran.

Lalu, bagaimana mengakhiri kasus ini?

Saya rasa—jika kita masih merasa sebagai manusia—tentu kita tidak ingin menyaksikan kembali kejadian buruk yang menimpa Rondy Mallo. Untuk itu, korban harus mendapat keadilan yang sebenar-benarnya. 

Rondy Mallo adalah kita. Dia berhak menikmati masa depannya. Kasus ini harus dikawal. Jangan lagi ada ungkapan bahwa pihak dari korban memilih bungkam karena ada intimidasi dan ancaman dari pelaku.

Artinya, keadilan hukum harus tegak, apa pun alasannya. Karena apa pun yang terjadi, jalan damai justru menjadi lampu hijau untuk kejadian serupa di kemudian hari.

Apa yang menimpa pada Rondy Mallo harus menjadi yang terakhir. Kita semua tidak ingin mendengar dan menyaksikan lagi kekerasan terhadap manusia, terlebih pada generasi jajaran pemudah.

Sekali lagi, damai dan maaf bukan solusi. Pelaku pengeroyokan tetap harus diproses secara pidana atas tindakan biadabnya. Tidak ada alasan, karena undang-undang sudah mengatur hukum yang sesuai untuk pidana. Jika tidak, ini akan menjadi pemicu generasi kita untuk berbuat nakal karena merasa tidak ada konsekuesnsi hukum yang serius. Apa pun alasannya, hukum harus berlaku secara konsisten.

Sudah cukup banyak kita menyaksikan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan dan berakhir dengan damai, tanpa ada hukuman bagi pelakunya. Hasilnya apa? Tidak ada. Justru akan menjadi alat pembenar untuk melakukan tindakan yang serupa. Moralitas generasi muda rusak dan bertindak sesuka hati tanpa berpikir bahwa perbuatannya telah merugikan banyak orang.

Terakhir, kita semua harus sadar bahwa bullying (perundugan) tidak bisa dianggap sepele. Rondy Mallo adalah bukti nyata dari sekian banyak kasus bahwa bullying is a crime. 

Sekali lagi, membiarkan kasus yang menimpa Rondy Malo berjalan damai—bahkan dengan dalih kekeluargaan, sama halnya membiarkan kekerasan di kalangan penguasa sebagai tindakan kewajaran.

E-KORAN